caleg bekasi 2019 - INDONESIA selalu berjalan memperdalam koalisi demokrasi lewat macam babak kesejarahan yang dilewati. Tidak seutuhnya menggembirakan. Banyak paradoks yang muncul serta punya potensi membuat perjalanan demokrasi kita stagnan. Seringkali juga, banyak momen politik destruktif yang seakan ingin memutar arah demokrasi kita ke waktu yang lalu. Salah satunya perihal yang semestinya memperoleh perhatian semua kelompok adalah kualitas pemilu lima tahunan. Sesaat kembali, kita menyambut acara Pemilu 2019.
Kali pertamanya, pemilu legislatif serta pemilu presiden dikerjakan dalam tempo bersamaan. Kita tidak ingin, pemilu sebatas prosedural-instrumental. Waktunya semua stakeholders demokrasi termasuk juga parpol berperhatian pada segi substansial dari kontestasi elektoral. Satu diantara perihal substansial itu adalah modernisasi dalam skema rekrutmen serta pembobotan kualitas calon anggota legislatif (calon legislatif) yang akan dimajukan di Pemilu legislatif 2019.
Tingkatan Pemilu 2019 telah ditargetkan KPU. Diawali dengan waktu pendaftaran partai politik pada 3-16 Oktober 2017 sampai penentuan partai politik peserta pemilu pada 17 Februari 2018. Mengajukan calon anggota legislatif (calon legislatif) akan diselenggarakan pada Juli 2018.
Oleh karenanya, partai tidak dapat kembali berleha-leha, sebab waktu sangatlah sempit. Tidak hanya mempersiapkan calon legislatif, pasti partai-partai akan dipusingkan agenda mengajukan capres, pada Agustus 2018. Ini terkait dengan taktik pemosisian eksistensi partai di dalam konstelasi politik yang berlangsung. Persiapan partai ini, pasti akan ditest pada hari pengambilan suara pada 17 April 2019.
Prakondisi komunikasi
Perihal terpenting dalam proses awal penyalonan anggota legislatif adalah peran-peran info sebagai prakondisi komunikasi mencukupi pada partai dengan beberapa calon legislatif. Lingkungan dinamis menjadi efek modernisasi yang berlangsung di beberapa bidang sekarang ini semestinya diadaptasi ikut oleh partai. Jangan pernah rutinitas lama diulangi, penyalonan dikerjakan dadakan. Partai harus berkomunikasi baik dengan internal dengan pengurus dari pusat sampai daerah, berkomunikasi dengan partisipan serta beberapa pihak yang mungkin untuk diambil jadi sisi dari representasi partai di penentuan calon legislatif di Pemilu 2019.
Peranan info (role of informations) itu tersangkut tiga perihal penting. Pertama, info detil tersangkut jalur penyalonan anggota legislatif yang dikerjakan partai baik untuk pihak internal ataupun external. Ke-2, publikasi penyalonan yang memberikan kepercayaan jika partai miliki kemauan baik (good will) serta kemauan politik (political will) untuk merubah kultur dari kerja penyalonan anggota legislatif yang sporadis ke sistematis. Ke-3, keterbukaan tersangkut kriteria serta zonasi daerah penentuan dalam penyalonan.
Tidak dimungkiri, sampai kini banyak prasyarat yang tidak tercatat, tetapi benar-benar ada. Contohnya dalam soal penomoran serta pembagian dapil. Bukan rahasia kembali, ketertutupan skema info tentang penomoran serta zonasi dapil ini, jadi transaksi politik yang mengakibatkan merebaknya kejadian ‘mahar’ dalam penetapan calon legislatif.
Sampai kini, beberapa analis politik baik dari dalam ataupun luar negeri bernada pesimistis tersangkut modernisasi dalam pengendalian parpol di Indonesia. Sebutlah saja Dirk Tomsa, dalam tulisannya, The Indonesian Party Sistem After the 2009 Elections:Towards Stability? (dalam Aspinall serta Mietzner, 2010), menjumpai kehadiran partai-partai yang diurus dengan kurang profesional serta kurang mengakar di Indonesia.
Diluar itu, nada miring ikut bisa dibaca dari tulisan Paige Johnson Tan dalam tulisannya, Reining the Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia, di Asian Journal of Political Science, Vol 20, No 2 Tahun 2012, yang menggambarkan skema kepartaian Indonesia tengah ada dalam proses deinstitusionalisasi serta meramalkan jika partai-partai akan melemah lewat cara yang tidak jelas.
Pandangan pesimistis ini dapat dimaklumi mengingat praktek berpartai di Indonesia memang masih tetap diwarnai macam persoalan.
Walau sebenarnya, dengan riil tempat parpol sangat strategis serta memastikan. Partai adalah komponen terpenting dalam kerangka demokrasi. Sangat banyak jabatan publik yang di isi dari parpol baik lewat proses elektoral ataupun nonelektoral. Diluar itu, eksistensinya diinginkan memperkuat koalisi demokrasi lewat beberapa fungsi yang dimilikinya.
Dalam bukunya Thomas Meyer, Peranan Partai Politik dalam Satu Skema Demokrasi (2008), dijelaskan satu diantara sembilan tesisnya mengenai parpol, jika partai ada dalam tempat pusat (political centrality) dalam mengagregasi bermacam kebutuhan yang berada di penduduk serta mengartikan kebutuhan dan nilai itu ke legislasi serta kebijaksanaan publik yang mengikat. Salah satunya peranan utamanya itu, tidak lainnya ialah mendistribusikan beberapa orang jadi anggota legislatif yang akan ikut memastikan arah perbaikan bangsa ini lima tahun ke depan sesudah pemilu.
Karakter menguasai
Sekarang ini, persepsi publik pada parpol masih tetap begitu jelek. Reputasi partai dilukiskan dalam tiga karakter menguasai: feodal, oligarkis, serta transaksional! Feodal sebab partai-partai yang ada sekarang ini lebih tergantung pada profil personal sebagai tokoh pentingnya.
Oligarkis dikarenakan kebijaksanaan partai dipertukarkan cuma dari-oleh-untuk segelintir elite yang mengendalikannya. Transaksional muncul sebab demikian jumlahnya masalah yang tunjukkan pragmatisnya partai dalam mentransaksikan tempat, peranan, serta pengaruhnya untuk arah kebutuhan pribadi serta kelompoknya semata-mata.
Demokrasi elektoral semenjak Pemilu 1999 semestinya jadi momen koalisi demokrasi. Sekurang-kurangnya, ada tiga kekuatan yang semestinya digunakan semua parpol untuk lebih artikulatif serta sistemik dalam memaknai eksistensi mereka. Pertama, partai mempunyai kebebasan berekspresi yang terfasilitasi pergantian skema politik pasca-Soeharto. Koorporatisme politik yang dikerjakan profil sentra penguasa tidak kembali dapat diaplikasikan.
Keadaan ini dengan substantif sangat mungkin modernisasi politik dari sebatas ornament demokrasi di masa Orde Baru ke peranan berarti dalam pengaturan kelembagaan mencakup perform ritual, organisasional, politis, serta enkulturasi. Tetapi sesudah lewat 4 kali pemilu pascareformasi kondisinya masih stagnan yaitu partai masih feodal, oligarkis, serta transaksional. Partai-partai yang ada sekarang ini masih tetap tergantung pada kemampuan profil serta kecenderungannya melembagakan personalisasi politik bukan skema politik. Menjadi organisasi, partai pasti akan alami penstrukturan organisasi.
Menurut Poole, Seibold, serta McPhee dalam The Structuration of Grup Decisions (1996), penstrukturan dimengerti menjadi proses waktu skema di produksi serta direproduksi lewat penggunaan ketentuan serta sumber daya oleh anggota grup. Dengan begitu, bila ketentuan organisasi serta keterpilihan sumberdaya manusia tetap menggantungkan kekuatannya pada satu profil serta garis keturunannya, jadi pasti partai berkaitan tidak akan sempat jadi partai moderen.
Ke-2, partai-partai pascareformasi sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperantai beberapa tuntutan serta suport di penduduk. Berarti, partai dapat memfungsionalisasikan diri dengan maksimal tiada terbebani oleh kemampuan luar partai. Akan tetapi, dalam praktiknya, sesudah lepas dari kuatnya kendali penguasa di masa Orde Baru, malah partai terbebani laris politik yang dikontrol pasar (market driven).
Indikatornya, partai sering terjerat dalam nalar M-C-M (money-commodity-more money). Partai serta beberapa aktivitasnya sering diposisikan menjadi komiditas yang dapat dikapitalisasi dalam beberapa kontestasi yang berlangsung di level nasional seperti dalam pencalegan serta pencapresan ataupun yang berlangsung di level lokal seperti dalam beberapa pemilihan kepala daerah. Langkah berfikir ini sering memosisikan partai bak ‘mobil rental’ serta dapat disewa siapapun yang mempunyai uang untuk perolehan kebutuhan mereka.
Ke-3, kekuatan lakukan kanalisasi sumber daya politisi profesional yang diperlukan dalam penguatan bangsa ini ke depan, termasuk juga dalam soal pencalegan. Partai dalam skema demokrasi adalah komponen terpenting yang seyogianya ada serta kuat. Pemimpin serta calon pemimpin semestinya dapat tumbuh kembang dari ‘rahim’ partai yang sehat serta mendayakan. Faktanya, sampai sekarang partai kita alami kesusahan lakukan kanalisasi SDM itu. Kebiasaan patron-client yang banyak dihadapi partai sekarang ini, malah jadi ‘inkubator’ tumbuh kembangnya beberapa koruptor baru!
Proses pencalegan
Partai mesti merubah style nekat dalam penyalonan di Pemilu 2019. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2014, banyak partai asal ‘mencomot’ calon legislatif mereka tiada satu proses bertahap. Mendekati pemilu banyak yang mendadak nyaleg! Lebih bila calon legislatif yang berkaitan miliki sumber daya yang sering ‘merangsang’ partai untuk mendekatinya. Beberapa sumber daya itu adalah popularitas, uang, serta akses pada pendapat mass media.
Popularitas dipunyai beberapa selebritas yang terlatih memperoleh ruangan berita di mass media. Basis riil simpul nada umumnya diidentikkan dengan tokoh organisasi penduduk, tetua kebiasaan, agamawan, yang kesehariannya penetratif ke basis-basis pemilih.
Uang serta akses umumnya jadi alat nego beberapa entrepreneur yang sering tertarik nyaleg untuk perlindungan usaha mereka. Paling akhir, konstruksi pendapat di alat menyertakan human agency seperti pekerja alat atau orang yang mengatur alat. Karena itu, janganlah bingung jika di jejeran calon legislatif dengan gampang kita temukan jejeran nama jurnalis atau bekas jurnalis.
Sebenarnya yang membuat publik pesimistis bukan pada latar belakang profesi mereka, sebab sebenarnya tiap-tiap masyarakat negara mempunyai hak pilih serta diambil yang menempel pada dianya. Kebanyakan orang dengan bermacam latar belakang profesinya mesti dihormati waktu tertarik untuk berperan serta dalam pencalegan.
Yang pantas dikasih catatan gawat sebenarnya adalah mode dadakan dalam pencalegan. Jadi wakil rakyat itu amanah kekuasaan yang begitu serius. Jabatan itu tidak wajar dipegang beberapa orang yang tengah belajar, coba-coba, atau sebatas berpetualang. Butuh kesungguhan dalam penyiapan diri sebelum mereka dipilih jadi wakil rakyat.
Jadi calon legislatif bukan tempat mencari pekerjaan, sebab intisari jabatan itu untuk dedikasi serta dedikasi mewakili beberapa basis konstituen. Tiap-tiap calon legislatif yang diserahkan partai semestinya mempunyai kompetensi intelektual, kepribadian serta sosial. Partai semestinya bukan semata-mata mendistribusikan orang, tetapi mempunyai tanggung jawab untuk lakukan rekrutmen, menyamai nilai-nilai serta ideologi partai, dan lihat rekam jejak tiap-tiap calon legislatif mereka. Tingkatan penyiapannya tidak cukuplah sembarangan. Perlu satu skema bertahap serta berkepanjangan untuk menghimpun beberapa nama yang betul-betul wajar.
Ada dua langkah yang seharusnya dikerjakan partai untuk penyiapan distribusi serta alokasi SDM jadi calon legislatif. Pertama, memerlukan penjenjangan dalam skema kaderisasi. Partai harusnya membuat suatu skema rekrutmen bertahap dengan memperhitungkan keterwakilan golongan muda, wanita, kelompok-kelompok kebutuhan di penduduk.
Rekrutmen ini tidak dikerjakan cuma mendekati pemilu tetapi selama tahun. Proses pembinaan loyalis dengan sendirinya akan berjalan waktu beberapa orang yang diambil barusan dilibatkan dalam kerja-kerja kepartaian. Perihal ini akan hindari ketimpangan komunikasi pada partai serta calon legislatif dan menyambung PartyID atau identifikasi pemilih dengan partai.
Ke-2, partai mesti melembagakan pendekatan Triple-C. Yaitu, community relations (jalinan komune), community empowerment (pemberdayaan komune) serta community services (service komune). Dengan pendekatan itu, dengan alamiah partai akan berjumpa dengan beberapa profil berbasiskan komune yang dapat jadi calon legislatif mereka. Sebetulnya, pendekatan ini menguntungkan buat partai. Tidak hanya betul-betul sama dengan ide politik perwakilan dalam trias politika, partai ikut miliki mempunyai akar kuat di basis pemilih.
Ke-2 langkah diatas tentunya dikerjakan tidak sekejap mendekati Pemilu 2019. Permasalahannya bagaimana jika belumlah lakukan hal itu serta ada keperluan pencalegan di muka mata? Partai bisa lakukan rekrutmen terbuka dengan merujuk pada orientasi-orientasi idealis serta strategis partai ke depan. Contohnya, buka pendaftaran serta lakukan fit and proper test internal.
Bisa jadi menyertakan beberapa pakar (expert panel) yang bisa mereferensikan beberapa orang yang bersedia nyaleg serta mempunyai trek record mencukupi untuk pencalegan itu. Utamanya, partai janganlah asal mencalonkan seorang sebab bagaimana juga akan membawa nama baik serta memberikan sumbangsih positif atau negatif pada reputasi partai berkaitan. Selamat mencari calon legislatif untuk Pemilu 2019!